Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2024

Mimbar: Akhlak dan Etika Akademik dalam Islam

Mimbar: Akhlak dan Etika Akademik dalam Islam

Mimbar: Akhlak dan Etika Akademik dalam Islam

Oleh: H. Alfan Putra, Lc., MA. (Dosen IAIN Palopo)

Kaum Muslimin Rahimakumullah, dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

﴿إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنهَا وَأَشْفَقْنَ مِنهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا‏﴾

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS. Al-Ahzab: 72)

Amanah dalam ayat ini mengartikan tanggung jawab besar yang mencakup menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan menjaga hak-hak Allah serta makhluk-Nya. Salah satu bentuk amanah yang diberikan kepada manusia adalah ilmu pengetahuan.

Dalam Islam, ilmu dianggap sebagai amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan penuh tanggung jawab. Ilmu bukanlah milik pribadi, melainkan titipan dari Allah yang harus digunakan sebaik-baiknya demi kebaikan bersama.

Namun, realitas saat ini sering kali menunjukkan kontradiksi dengan amanah ini. Fenomena plagiarisme, kecurangan akademik, dan penyalahgunaan ilmu semakin marak di dunia pendidikan. Banyak mahasiswa memilih jalan pintas dengan menyontek atau menyalin karya orang lain untuk meraih prestasi tanpa usaha yang benar.

Selain itu, ilmu sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, seperti manipulasi data atau riset demi keuntungan finansial, serta pengembangan teknologi yang merusak lingkungan. Fenomena-fenomena ini mencerminkan hilangnya kesadaran akan amanah ilmu, yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan di masyarakat dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengedepankan kebaikan dan integritas.

Imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin berkata:

 العِلْمُ بِلَا عَمَلٍ جُنُونٌ، وَالْعَمَلُ بِلَا عِلْمٍ هَبَاءٌ

Pernyataan ini menekankan bahwa ilmu yang tidak diterapkan dalam tindakan adalah tidak berguna, dan amal yang dilakukan tanpa dasar ilmu adalah sia-sia. Imam Al-Ghazali tidak hanya menyajikan ilmu secara teoretis, tetapi juga menekankan pentingnya mengamalkan ilmu dengan benar.

Nabi kita SAW pernah bersabda:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ

“Semoga Allah memberi cahaya kepada seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu menyampaikannya sebagaimana dia mendengarnya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menggarisbawahi pentingnya menyampaikan ilmu dengan benar dan jujur. Ketika seseorang memperoleh ilmu, dia memiliki amanah untuk menyampaikannya tanpa mengubah atau menambah informasi yang diperoleh.

Dalam konteks etika hubungan antara guru dan pelajar, kita dapat mengambil teladan dari kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidr AS. Dalam Surah Al-Kahf, ayat 60-82, kisah ini menggambarkan bagaimana Nabi Musa AS belajar dari Nabi Khidr AS melalui perjalanan yang penuh dengan pelajaran berharga.

﴿وَفَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آيَاتِنَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ لِيُبَيِّنَ لَكَ مَا لَمْ تَصْبِرْ عَلَيْهِ﴾

“Dan mereka menemukan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”(Q.S. Al-Kahf: 65)

Kisah ini dapat dijadikan refleksi bagi pelajar saat ini yang sering kali menunjukkan ketidaksabaran dalam menuntut ilmu. Banyak pelajar yang merasa frustrasi ketika menghadapi kesulitan dalam proses pembelajaran atau merasa bahwa materi yang diajarkan tidak relevan dengan kebutuhan mereka.

Seperti Nabi Musa AS yang harus belajar untuk bersabar dan memahami tindakan Nabi Khidr AS, pelajar juga perlu mengembangkan sikap kesabaran dan terbuka dalam proses belajar. Belajar tidak selalu instan, dan sering kali memerlukan waktu dan usaha untuk memahami dan mengaplikasikan ilmu dengan baik.

Dalam hubungan antara guru dan pelajar, penting bagi pelajar untuk menghargai proses pembelajaran, memahami bahwa setiap tantangan dalam studi adalah bagian dari perjalanan ilmu, dan menunjukkan kesabaran seperti yang dicontohkan dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr.

Sementara itu, guru juga harus memberikan bimbingan yang penuh perhatian dan sabar dalam mendukung perkembangan akademik pelajar. Dengan mengikuti prinsip-prinsip etika yang baik, sebagaimana diajarkan oleh kisah tersebut dan ajaran Al-Qur’an, hubungan antara guru dan pelajar dapat berkembang secara harmonis dan efektif.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

 مَن سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Pernyataan ini menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah jalan yang sangat dihargai dalam Islam dan dapat membawa seseorang lebih dekat kepada surga. Namun, proses menuntut ilmu sering kali memerlukan usaha yang tidak sedikit, kesabaran, dan ketekunan.

Jalan untuk mendapatkan ilmu bukanlah jalan yang mudah atau instan; sering kali melibatkan tantangan dan kesulitan yang memerlukan ketahanan dan kesabaran.

Dalam konteks ini, menuntut ilmu bisa diibaratkan sebagai perjalanan panjang yang memerlukan usaha keras dan ketekunan. Kesulitan dan tantangan yang dihadapi selama proses belajar adalah bagian dari perjalanan tersebut.

Dengan kesabaran dan tekad yang kuat, pelajar dapat mengatasi berbagai rintangan dan akhirnya memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Pernyataan ini memberikan dorongan kepada pelajar untuk tetap sabar dan berkomitmen dalam proses belajar, mengetahui bahwa usaha mereka akan dihargai dan mendapatkan balasan yang baik dari Allah SWT.

Dalam hubungan antara guru dan pelajar, penting untuk memahami bahwa proses pembelajaran adalah perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran dan dukungan dari kedua belah pihak.

Dalam hubungan antara guru dan pelajar, sikap saling menghormati merupakan fondasi utama yang mendukung proses pembelajaran yang efektif dan harmonis. Nabi Muhammad SAW bersabda:

 إِنَّمَا يُعْرَفُ الرَّجُلُ بِمَا يَفْعَلُهُ مِنْ خَيْرٍ وَلَا يَعْرِفُ الرَّجُلُ إِلَّا بِمَا يَفْعَلُهُ مِنْ شَرٍّ

“Seseorang dikenal melalui perbuatannya, dan tidak dikenal kecuali melalui apa yang ia lakukan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengajarkan bahwa tindakan seseorang, termasuk sikap menghormati, adalah penentu karakter dan reputasi mereka. Dalam konteks ini, baik guru maupun pelajar harus menunjukkan sikap saling menghormati sebagai bagian dari tindakan positif yang mencerminkan karakter mereka.

Al-Qur’an juga menekankan pentingnya sikap saling menghormati dalam berbagai interaksi sosial. Dalam Surah Al-Hujurat, ayat 11:

 ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ﴾

Terjemahan: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mencemooh kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang dicemooh) lebih baik dari mereka (yang mencemooh).”

Ayat ini mengajarkan bahwa dalam setiap interaksi, termasuk antara guru dan pelajar, kita harus menghindari perilaku yang merendahkan dan selalu menjaga rasa hormat.

Kisah ulama seperti Imam Al-Ghazali juga memberikan teladan yang jelas tentang sikap menghormati dalam pembelajaran. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum ad-Din menggarisbawahi pentingnya sikap tawadhu’ (kerendahan hati) dan rasa hormat dalam proses belajar mengajar, serta bagaimana guru dan pelajar harus saling menghargai dan mendukung satu sama lain dalam pencarian ilmu.

Telah disampaikan pada Khutbah Jumat di Masjid Alauddin IAIN Palopo (9/6/2024)

Related Posts
Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *

https://pamekasan.polinema.ac.id/gacor/ https://lpfeb.trisakti.ac.id/gcr/ https://unimugo.ac.id/data/pulsa/ https://prakerja.nusatalent.com/file/ https://lpfeb.trisakti.ac.id/gacor/